Pengerahan Tentara Nasional Indonesia (TNI) untuk mengamankan kantor Kejaksaan Tinggi dan Kejaksaan Negeri di seluruh Indonesia menjadi topik hangat yang memicu gelombang perdebatan. Sebagian pihak menilai langkah ini sebagai bentuk dukungan terhadap penegakan hukum, sementara lainnya justru memandangnya sebagai ancaman terhadap prinsip demokrasi dan supremasi hukum.

Latar Belakang Kebijakan Panglima TNI

Langkah ini dipicu oleh perintah Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto untuk menempatkan personel TNI di berbagai kantor kejaksaan. Kebijakan ini disebut bertujuan untuk meningkatkan rasa aman dan mencegah potensi gangguan terhadap aparat kejaksaan dalam menjalankan tugas.

Namun, kebijakan ini memicu pertanyaan mendasar: Apakah peran TNI dalam pengamanan kejaksaan sesuai dengan amanat konstitusi dan sistem hukum nasional?

Reaksi Penolakan dari Koalisi Masyarakat Sipil

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan, melalui perwakilannya Ardi Manto dari Imparsial, menyatakan penolakan terhadap pengerahan tersebut. Dalam keterangannya, Ardi menegaskan bahwa perintah tersebut tidak memiliki landasan hukum yang sah dan melanggar sejumlah undang-undang, termasuk:

  • UUD 1945
  • UU TNI No. 34 Tahun 2004
  • UU Kekuasaan Kehakiman
  • UU Kejaksaan

Menurutnya, peran TNI terbatas pada urusan pertahanan negara dan tidak dapat dilibatkan dalam kegiatan pengamanan sipil seperti penjagaan kantor kejaksaan.

Lemahnya Dasar Hukum MoU TNI-Kejaksaan

TNI berdalih bahwa pengerahan prajurit ini merupakan bagian dari kerja sama dengan Kejaksaan yang tertuang dalam sebuah Memorandum of Understanding (MoU). Akan tetapi, secara hukum, MoU bukanlah regulasi yang memiliki kekuatan hukum setara undang-undang atau peraturan presiden.

Pelibatan TNI dalam kegiatan sipil seperti ini seharusnya berada di bawah skema Operasi Militer Selain Perang (OMSP), yang hanya dapat dilakukan setelah ada peraturan presiden dan persetujuan DPR.

Baca juga  Transformasi Ketenagakerjaan Bersama Prabowo, Mungkinkah?

Risiko Pengaburan Fungsi Institusi Negara

Pakar hukum dan demokrasi memperingatkan bahwa pelibatan militer dalam pengamanan lembaga hukum sipil dapat menciptakan ambiguitas peran institusi negara. TNI bukanlah institusi penegak hukum, dan keterlibatannya dalam aktivitas sipil bisa menimbulkan tumpang tindih kewenangan.

Lebih jauh, kehadiran militer di kantor kejaksaan bisa menimbulkan tekanan psikologis bagi para jaksa dan pegawai kejaksaan. Hal ini bisa mengganggu independensi lembaga tersebut dalam menangani perkara hukum secara objektif.

Tidak Ada Ancaman Keamanan Serius

Salah satu justifikasi yang digunakan oleh pendukung kebijakan ini adalah adanya ancaman terhadap aparat kejaksaan dalam menangani kasus besar, seperti kasus korupsi kelas kakap. Namun, kritik yang muncul mempertanyakan apakah ancaman tersebut benar-benar cukup serius sehingga memerlukan pengamanan dari TNI.

Dalam praktiknya, pengamanan lembaga negara bisa dilakukan oleh satuan pengamanan internal (Satpam) dan dukungan dari Kepolisian Negara Republik Indonesia. Melibatkan TNI dalam hal ini dianggap sebagai tindakan yang berlebihan dan tidak proporsional.

Ancaman terhadap Demokrasi dan Supremasi Sipil

Salah satu pencapaian besar reformasi 1998 adalah penegakan prinsip supremasi sipil atas militer. Keterlibatan TNI dalam kegiatan sipil, apalagi dalam konteks hukum, dapat dilihat sebagai kemunduran dari semangat reformasi.

“Jika militer kembali diberi ruang dalam urusan sipil, maka kita sedang membuka jalan menuju otoritarianisme secara perlahan,” ujar Ardi Manto.

Kekhawatiran ini bukan tidak berdasar. Sejarah mencatat bagaimana militer pernah menjadi kekuatan dominan dalam struktur pemerintahan Indonesia pada masa Orde Baru. Oleh karena itu, menjaga batas yang jelas antara peran militer dan sipil sangat penting untuk kesehatan demokrasi.

Rekomendasi untuk Pemerintah dan DPR

Koalisi Masyarakat Sipil mendesak pemerintah untuk mencabut kebijakan pengerahan TNI ke kantor kejaksaan. Evaluasi kebijakan ini perlu dilakukan secara transparan dan melibatkan partisipasi publik serta lembaga pengawas seperti Komnas HAM dan Ombudsman.

Baca juga  Mayjen Piek Budyakto Jabat Pangdam IX/Udayana

Di sisi lain, DPR juga diharapkan mengambil sikap tegas untuk memastikan tidak terjadi pelanggaran konstitusi dan menjaga prinsip checks and balances dalam sistem pemerintahan.

Kebijakan pengerahan TNI ke kantor kejaksaan memunculkan sejumlah persoalan mendasar, mulai dari aspek hukum hingga dampaknya terhadap demokrasi. Tanpa dasar hukum yang kuat dan mekanisme pengawasan yang jelas, kebijakan ini berpotensi menjadi alat politisasi militer yang merusak tatanan hukum dan sistem pemerintahan yang demokratis.

Oleh karena itu, langkah terbaik yang dapat diambil pemerintah saat ini adalah mengevaluasi ulang kebijakan tersebut dan memastikan bahwa setiap langkah strategis yang diambil berada dalam koridor hukum dan prinsip demokrasi.

News

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *