Jakarta, KilasDunia – Posisi Jepang yang dulunya nyaman dengan 92 % pasar kini tergerus; pangsa mereka turun menjadi 89,5 % pada 2024. Walau masih mayoritas, tren penurunan konsisten memaksa perubahan strategi radikal.

Penurunan dipicu harga EV Jepang yang belum kompetitif dan vibrasi pasar generasi Z yang lebih mementingkan teknologi ketimbang merek. Keterlambatan mengadopsi OTA dan ADAS sebagai standar turut memperlebar gap persepsi inovasi.

Toyota meluncurkan Yaris Cross Hybrid lokal dengan target TKDN 60 %, sedangkan Honda menyiapkan produksi massal Elevate hybrid akhir 2025. Strategi ini dimaksudkan menekan biaya dan memanfaatkan insentif hybrid 0 % PPNBM.

Nissan bernegosiasi dengan Gotion High‑Tech untuk produksi sel baterai di Karawang, sebuah langkah mengejar kecepatan inovasi baterai LFP milik BYD. Honda menggandeng Pertamina NRE membangun stasiun penukaran baterai untuk BigScooter‑EV, menambah ekosistem listrik mereka.

Merek Jepang menekankan durability, survei internal GAIKINDO menunjukkan rasio klaim garansi Jepang 0,4 % vs 1,2 % mobil China pada 2024. Namun selisih ini semakin tipis seiring peningkatan QC di pabrik‑pabrik baru China.

Paket bundling servis 5 tahun gratis plus subsidi trade‑in hingga Rp 40 juta menjadi senjata baru. Selain itu, leasing Astra dan Dipo memperpanjang tenor hingga delapan tahun dengan bunga kompetitif.

Analis memperkirakan pangsa Jepang akan stabil di 80–82 % setelah penyesuaian, sementara China berpotensi menyentuh 15–18 %. Jumlah ini masih di bawah Thailand (27 %), sehingga ruang tumbuh tetap besar.

Untuk bertahan, Jepang perlu: (1) menjual EV kompak di bawah Rp 350 juta, (2) mempercepat software‑defined vehicle, dan (3) membuka lini produksi baterai solid‑state lokal sebelum 2027. Tanpa langkah strategis ini, jurang teknologi dan harga akan makin lebar.

Baca juga  Manfaat Air Kelapa Muda untuk Kesehatan

News

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *