Jakarta, KilasDunia – Budaya pungutan liar (pungli) dan permintaan jatah proyek telah menjadi fenomena yang mengakar dalam masyarakat Indonesia. Praktik ini tidak hanya melibatkan pejabat pemerintah, tetapi juga merambah ke kalangan masyarakat umum. Banyak warga yang mencontoh perilaku pejabat dengan melakukan pungli atau meminta jatah proyek, sehingga menciptakan siklus korupsi yang sulit diputus.
Salah satu contoh kasus adalah keterlibatan pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam praktik pungli di rumah tahanan KPK. Sebanyak 78 pegawai terbukti menerima pungli dari para tahanan, yang kemudian dihukum dengan meminta maaf. Kasus lain melibatkan anggota Polri yang terlibat pungli di rutan KPK dan dijatuhi sanksi berat oleh Dewan Pengawas.
Praktik pungli dan permintaan jatah proyek ini tidak hanya merugikan negara secara finansial, tetapi juga merusak tatanan sosial dan moral masyarakat. Ketika pejabat yang seharusnya menjadi teladan justru terlibat dalam praktik korupsi, masyarakat pun cenderung meniru perilaku tersebut. Akibatnya, pungli dan permintaan jatah proyek menjadi hal yang lazim dan diterima sebagai bagian dari budaya.
Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan upaya yang komprehensif dan berkelanjutan. Pendidikan antikorupsi harus ditanamkan sejak dini, baik di lingkungan keluarga maupun sekolah. Selain itu, penegakan hukum yang tegas dan transparan terhadap pelaku pungli dan korupsi harus dilakukan tanpa pandang bulu. Masyarakat juga perlu diberdayakan untuk berani melaporkan praktik pungli dan tidak terlibat dalam tindakan korupsi.
Dengan langkah-langkah tersebut, diharapkan budaya pungli dan permintaan jatah proyek dapat diminimalisir, sehingga tercipta masyarakat yang lebih bersih dan berintegritas.